Langsung ke konten utama

Studi Stabilitas Dipercepat untuk Memperkirakan Waktu Kadaluarsa

Dalam bidang farmasi atau makanan seringkali kita mendengar istilah waktu kadaluarsa yaitu batas waktu di mana suatu produk obat/makanan masih dijamin kualitasnya oleh produsen pada kondisi penyimpanan yang direkomendasikan.
Untuk menghitung lamanya waktu kadaluarsa metode yang paling tepat digunakan adalah real time stability test. Prinsip real time stability test sangat sederhana yaitu melakukan pengukuran (testing) parameter-paramter yang mencirikan kualitas suatu produk (misal : konsentrasi zat aktif, pH, bilangan peroksida, cemaran mikroba, dan aktivitas antioksidan) pada sekelompok retained sample (sampel pertinggal) yang disimpan pada kondisi penyimpanan yang direkomendasikan oleh pabrik (biasanya kondisi penyimpanan yang paling stabil) sampai waktu tertentu di mana kualitas produk tersebut tepat mulai mengalami penurunan. Meskipun akurat, namun kelemahan real time stability test adalah memerlukan waktu yang lama (bisa bertahun-tahun untuk suatu produk obat yang dibuat dalam bentuk tablet dan dikemas dalam strip atau blister yang kedap udara). Oleh karena itu, diperlukan metode lain yang dapat memberikan hasil yang cukup akurat dan relatif cepat (meskipun nantinya juga harus dikonfirmasi dengan real time stability test) yaitu accelerated stability test.
Prinsip accelerated stability test sedikit lebih rumit karena melibatkan beberapa seri percobaan yaitu:

  1. Melakukan pengujian parameter kualitas dari suatu produk, misal kadar zat aktif selama waktu-waktu tertentu pada suhu yang lebih tinggi dari suhu penyimpanan biasa (kita tahu bahwa kenaikan suhu meningkatkan kecepatan reaksi). Minimal percobaan ini dilakukan dalam tiga suhu yang berbeda (misal 50, 70, dan 90 derajat C).
  2. Pada akhir percobaan akan diperoleh data kadar zat aktif  yang tersisa (hanya salah satu contoh) pada waktu-waktu tertentu pada setiap kondisi percobaan (pada setiap suhu percobaan). Berdasarkan data ini dapat dilakukan pemodelan kinetika reaksi (umunya digunakan kinetika orde pertama tergantung pada jenis reaksi kimiawi yang terjadi atau tergantung pola data) sehingga akan diperoleh model-model kinetika reaksi pada masing-masing suhu percobaan. Contoh model umum kinetika orde pertama:$$ \ln {C} = \ln {C_0} - kt $$
  3. Berdasarkan data konstanta kecepatan reaksi (k) yang diperoleh dari masing-masing suhu percobaan, dapat dilakukan pendugaan/estimasi nilai k pada suhu kamar menggunakan persamaan Arrhenius: $$ \ln{k} = \ln{A} -\frac {E_a} {RT}$$.
Untuk mempermudah pemahaman, berikut ini diberikan suatu contoh:
Sekelompok mahasiswa melakukan studi stabilitas larutan aspirin dalam air menggunakan metode accelerated stability test pada suhu 50, 70, dan 90 derjat C di dalam tiga buah penangas air yang berbeda. Pada masing-masing penangas air, diletakkan 7 buah tabung reaksi berisi larutan aspirin dengan konsentrasi yang sama dan pada waktu ke- 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit dilakukan pengambilan 1 tabung reaksi sebagai sampel mulai dari tabung pertama sampai tabung ke-7. Reaksi dihentikan dengan menempatkan tabung reaksi ke dalam penangas es sampai proses sampling selesai dilakukan. Selanjutnya dilakukan penetapan kadar aspirin pada masing-masing sampel sehingga pada akhir percobaan diperoleh data:
Pemodelan kecepatan degradasi obat pada suhu 323 K, 333 K, dan 343 K


Model Arrhenius antara 1/T vs ln k
Pada suhu kamar (300 K) nilai konstanta kecepatan degradasi obat dapat dihitung yaitu 0,0175 /menit. Maka dapat diketahui berapa waktu kadaluarsa aspirin (t90) di dalam air yaitu: 6,01 menit. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami Potensial Aksi Sel Saraf : Depolarisasi, Hiperpolarisasi, Repolarisasi

Potensial Istirahat Membran Sinyal pada sel-sel saraf disampaikan melalui sinyal listrik. Sinyal listrik ini dapat terjadi karena ada perbedaan muatan di dalam dan di luar sel. Perbedaan muatan ini dapat diukur menggunakan voltmeter yang terhubung dengan elektroda pembanding dan mikroelektroda perekam (lihat Gambar 1). Pada keadaan istirahat kanal ion tertutup, ion yang tersebar di sepanjang membran dapat diprediksi dengan mudah. Konsentrasi Na +  diluar sel 10 kali lebih besar dari pada di dalam sel dan konsentrasi K +  di dalam sel lebih besar daripada di luar sel. Sitosol mengandung anion konsentrasi tinggi dalam bentuk ion fosfat dan protein yang terionisasi negatif. Pada keadaan ini (istirahat) muatan di dalam sel lebih negatif daripada di luar dan beda potensialnya sebesar -70 mV. Nilai ini disebut dengan potensial istirahat membran. Kebocoran kanal ion dapat terjadi yang memungkinkan ion Na +  masuk ke dalam sel atau ion K +  keluar dari sel, namun hal ini dapat diatasi oleh p

Klasifikasi Reseptor

Reseptor dapat dibagi berdasarkan lokasi dan transduksi sinyal. Berdasarkan lokasinya, reseptor dapat dibagi menjadi reseptor transmembran dan reseptor inti. Jika ditinjau dari proses transduksi sinyal, maka dapat dibagi lagi menjadi  ionotropik &  metabotropik . Reseptor ionotropik, reseptor kanal ion atau yang terasosiasi dengan kanal ion, masih dapat dibagi lagi menjadi voltage-gated, ATP-gated, dan ligand-gated sedangkan reseptor ionotropik dapat dibagi menjadi reseptor terikat protein G (G s , G q , G i ) dan reseptor terikat enzim. 1. Reseptor Transmembran Reseptor transmembran terletak di membran sel dan mempunyai domain (daerah) ekstraseluler, membran, dan intraseluler [ 1 ]. Beberapa reseptor yang termasuk dalam golongan reseptor transmembran adalah reseptor insulin dan glucose transporter [2]  serta reseptor GABA A [3] . 2. Reseptor Inti Reseptor inti adalah reseptor yang terdapat di sitoplasma. Apabila terdapat ligan yang pengaktivasi (biasanya se

Granulasi Basah

Pendahuluan Metode granulasi basah adalah teknik pembuatan tablet yang paling banyak digunakan. Granulasi basah dimulai dari pencampuran, penambahan bahan pengikat, pengayakan, pengeringan, penambahan bahan ekstragranular, dan yang terakhir adalah pencetakan tablet. Bahan pengikat dapat ditambahkan dalam bentuk suspensi/larutan/mucilago atau dalam bentuk serbuk kering. Manakala tablet dibuat dalam skala kecil, bahan pengikat ditambahkan dalam bentuk serbuk dan kemudian ditambah dengan sejumlah pelarut. Sebaliknya, dalam skala besar, sebaiknya bahan pengikat didispersikan terlebih dahulu ke dalam pelarut membentuk larutan/mucilago/suspensi baru kemudian ditambahkan ke dalam campuran yang akan dibuat menjadi granul. Penambahan pelarut atau cairan pengikat tidak perlu terlalu besar, sebab massa ("adonan") yang akan digranul cukup dibuat lembab ( jangan sampai basah atau seperti pasta karena menyebabkan tablet terlalu keras ). Setelah terbentuk massa yang cukup kalis, dilak