Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Kalsium Sebagai Second Messenger dalam Kontraksi Otot

Ketika konsentrasi intraseluler meningkat,  kalsium dapat berikatan dengan troponin C pada filamen-filamen aktin (di dalam otot lurik)   atau kalmodulin (CaM) yang mengatur filamen-filamen miosin (di dalam otot polos).  Mekanisme terjadinya kontraksi pada otot lurik Di dalam otot lurik, kalsium yang berikatan dengan troponin C mengakibatkan perubahan konformasi kompleks troponin pada filamen-filamen aktin. Hal ini menyebabkan tempat-tempat ikatan (binding sites) dengan miosin yang semula tertutup menjadi terbuka dan terjadi ikatan antara aktin dan miosin (Gambar 1). Gambar 1. Kalsium menyebabkan terbentuknya ikatan aktin-miosin Selanjutnya, terjadi ikatan antara miosin dengan ATP (adenin triphosphate). Suatu ketika, ATP terhidrolisis menjadi ADP (adenin diphosphate) dan ion fosfat inorganik (Pi), menyebabkan terbentuknya jembatan silang dan miosin berikatan dengan tempat (site) yang baru pada aktin. P elepasan Pi mengubah konformasi aktin dan menghasilkan kekuatan kayuh yang

Daftar Reseptor Ionotropik yang Penting

Daftar Reseptor Ionotropik yang Penting Reseptor GABA A  (𝛾-amino butyric acid) terasosiasi dengan kanal ion Cl - penting dalam mekanisme aksi obat anti-epilepsi & sedatif-hipnotik. Contoh : Gabapentin   [1] .  Reseptor AMPA ( α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid) dan NMDA (N-methyl-D-aspartate) terasosiasi dengan kanal ion Ca 2+ . Penting dalam mekanisme aksi obat penyakit Alzheimer. Contoh : Memantin (bekerja pada NMDA) dan Perampanel (bekerja pada AMPA)  [2 , 3] Reseptor kanal ion Ca 2+   berhubungan dengan mekanisme aksi obat-obat antihipertensi. Contoh: Amlodipin [ 4 , 5] Reseptor kanal ion K + berhubungan dengan mekanisme aksi obat berhubungan dengan mekanisme aksi obat anti aritmia dan diabetes melitus.  Contoh : obat-obat sulfonilurea (diabetes melitus) dan  bisaramil (antiaritmia)  [6 ,  7]

Memahami Potensial Aksi Sel Saraf : Depolarisasi, Hiperpolarisasi, Repolarisasi

Potensial Istirahat Membran Sinyal pada sel-sel saraf disampaikan melalui sinyal listrik. Sinyal listrik ini dapat terjadi karena ada perbedaan muatan di dalam dan di luar sel. Perbedaan muatan ini dapat diukur menggunakan voltmeter yang terhubung dengan elektroda pembanding dan mikroelektroda perekam (lihat Gambar 1). Pada keadaan istirahat kanal ion tertutup, ion yang tersebar di sepanjang membran dapat diprediksi dengan mudah. Konsentrasi Na +  diluar sel 10 kali lebih besar dari pada di dalam sel dan konsentrasi K +  di dalam sel lebih besar daripada di luar sel. Sitosol mengandung anion konsentrasi tinggi dalam bentuk ion fosfat dan protein yang terionisasi negatif. Pada keadaan ini (istirahat) muatan di dalam sel lebih negatif daripada di luar dan beda potensialnya sebesar -70 mV. Nilai ini disebut dengan potensial istirahat membran. Kebocoran kanal ion dapat terjadi yang memungkinkan ion Na +  masuk ke dalam sel atau ion K +  keluar dari sel, namun hal ini dapat diatasi oleh p

Klasifikasi Reseptor

Reseptor dapat dibagi berdasarkan lokasi dan transduksi sinyal. Berdasarkan lokasinya, reseptor dapat dibagi menjadi reseptor transmembran dan reseptor inti. Jika ditinjau dari proses transduksi sinyal, maka dapat dibagi lagi menjadi  ionotropik &  metabotropik . Reseptor ionotropik, reseptor kanal ion atau yang terasosiasi dengan kanal ion, masih dapat dibagi lagi menjadi voltage-gated, ATP-gated, dan ligand-gated sedangkan reseptor ionotropik dapat dibagi menjadi reseptor terikat protein G (G s , G q , G i ) dan reseptor terikat enzim. 1. Reseptor Transmembran Reseptor transmembran terletak di membran sel dan mempunyai domain (daerah) ekstraseluler, membran, dan intraseluler [ 1 ]. Beberapa reseptor yang termasuk dalam golongan reseptor transmembran adalah reseptor insulin dan glucose transporter [2]  serta reseptor GABA A [3] . 2. Reseptor Inti Reseptor inti adalah reseptor yang terdapat di sitoplasma. Apabila terdapat ligan yang pengaktivasi (biasanya se

Studi Stabilitas Dipercepat untuk Memperkirakan Waktu Kadaluarsa

Dalam bidang farmasi atau makanan seringkali kita mendengar istilah waktu kadaluarsa yaitu batas waktu di mana suatu produk obat/makanan masih dijamin kualitasnya oleh produsen pada kondisi penyimpanan yang direkomendasikan. Untuk menghitung lamanya waktu kadaluarsa metode yang paling tepat digunakan adalah real time stability test . Prinsip real time stability test sangat sederhana yaitu melakukan pengukuran ( testing ) parameter-paramter yang mencirikan kualitas suatu produk (misal : konsentrasi zat aktif, pH, bilangan peroksida, cemaran mikroba, dan aktivitas antioksidan) pada sekelompok retained sample (sampel pertinggal) yang disimpan pada kondisi penyimpanan yang direkomendasikan oleh pabrik (biasanya kondisi penyimpanan yang paling stabil) sampai waktu tertentu di mana kualitas produk tersebut tepat mulai mengalami penurunan. Meskipun akurat, namun kelemahan real time stability test adalah memerlukan waktu yang lama (bisa bertahun-tahun untuk suatu produk obat yang dibuat d

Studi Stabilitas

Studi stabilitas umumnya dilakukan untuk mengetahui lama simpan suatu produk makanan, minuman, atau obat. Namun, dapat juga dilakukan untuk mengetahui mekanisme degradasi suatu produk (misal. obat) atau mengetahui efektivitas suatu agen penstabil yang ditambahkan dalam formulasi. Prinsipnya, studi stabilitas memanfaatkan hubungan antara parameter kimiawi, fisik, atau mikrobiologi terhadap waktu. Umumnya, parameter kimiawi lebih disukai karena pengamatan dapat dilakukan dengan lebih mudah dibandingkan dengan parameter lainnya. Berikut ini adalah contoh kinetika degrasi orde pertama. Waktu kadaluarsa ditetapkan sebagai waktu di mana konsentrasi suatu produk menjadi 90% dari konsentrasi awalnya atau telah rusak 10%, maka waktu kadaluarsa dapat ditetapkan sebagai : $$ t_{90} = \frac{0,105}{k} $$ Apabila data konsentrasi pada waktu tertentu dan kondisi penyimpanan tertentu dapat ditentukan, maka dapat dilakukan estimasi waktu kadaluarsa menggunakan persamaan di atas. Bagaiman

Simulasi Profil Farmakokinetika

Pernahkah anda membayangkan kalau minum obat dengan dosis tertentu selama interval waktu tertentu, kira-kira berapa kadar obat dalam darah ya? Kali ini diberikan suatu contoh simulasi profil farmakokinetika (konsentrasi obat vs waktu) pada laki-laki dewasa (65 kg) yang mengonsumsi kapsul tetrasiklin HCl 250 mg setiap 8 jam selama 1 minggu. Di mana ketersediaan hayati obat tersebut 75%, volume distribusi 1,5 L/kg, waktu paruh eliminasi 10 jam, dan konstanta kecepatan absorpsi 0,9 / jam. Simulasi ini dibuat dengan mengasumsikan bahwa tetrasiklin HCl mengikuti model 1 kompartemen. Obat diperkirakan akan mencapai keadaan tunak setelah 50 jam dengan rata-rata konsentrasi dalam plasma sekitar 4,2 mg/L.

Menghitung Median Effective Dose/Concentration

Dalam penelitian farmakodinamik seringkali dibutuhkan analisis kurva dosis respon untuk menilai efektifitas suatu obat. Kurva dosis respon sendiri berbentuk sigmoid yang tidak mampu dianalisis menggunakan regresi linear sederhana. Untuk memodelkan kurva dosis respon sekaligus mencari nilai dosis atau konsentrasi tengah (ED50 atau IC50 atau EC50) akan lebih tepat apabila digunakan regresi non linear seperti logistik dan log-logistik. Regresi Logistik Bentuk umum dari regresi logistik dapat dilihat pada persamaan di bawah ini: $$ f\left (x \right )=c+\frac{d-c}{\left (1+{e}^{\left (b\left (x-e \right ) \right )} \right ){}^{f}} $$ Dalam model tersebut, terdapat 5 buah konstanta yaitu b, c, d, e, dan f. Konstanta-konstanta tersebut tidak harus selalu disertakan dalam model. Dalam regresi logistik dikenal beberapa model yaitu L.3, L.4, dan L.5. Model L.3 menyertakan konstanta b, d, e; L.4  menyertakan b, c, d, e; dan L.5 menyertakan b, c, d, e, f dalam model regresinya. Regresi L

Uji t Berpasangan untuk Membandingkan Dua Metode Analisis

Untuk membuktikan kesahihan suatu metode analisis yang baru saja dikembangkan, dapat dilakukan suatu uji banding. Dalam uji banding ini, hasil pengukuran dari metode yang baru dibandingkan dengan metode resmi (official method) yang sudah mengalami beberapa proses pengujian mulai dari validasi sampai dengan uji profisiensi.  Perbandingan hasil pengukuran dua metode analisis ini dilakukan dengan menggunakan sampel yang sama. Suatu kelompok sampel di-split (dibagi dua). Sebagian diuji dengan metode baru dan yang lainnya diuji dengan metode standar. Dengan demikian diperoleh dua kelompok data hasil pengukuran yang merupakan data berpasangan karena berasal dari suatu set sampel yang sama. Perbedaan rerata dua buah data berpasangan ini dapat dilihat menggunakan uji t berpasangan apabila selisih dua data tersebut terdistribusi normal. Sebagai contoh, dalam sebuah percobaan, dilakukan pengukuran kadar parasetamol dalam 10 buah tablet menggunakan dua metode analisis yang berbeda yaitu spekt